Bencana Banjir, Respon Buruknya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Oleh :
Ir. Harmailis, M.Si
Staf Pengajar Jurusan Teknologi
Pertanian
Politeknik Pertanian Negeri
Payakumbuh
Email : harmailis_chaniago@yahoo.com
I.
PENDAHULUAN
Bancana banjir yang telah terjadi di Jakarta beberapa bulan yang lalu telah
merepotkan semua pihak. Rakyat jelata, praktisi,
artis, pimpinan parpol, pejabat tinggi
bahkan sampai Presiden telah dibuat repot dengan kejadian banjir di Jakarta tersebut. Menurut Yos Sutioso, ‘orang nomor satu di DKI’ menyebutkan peristiwa banjir Jakarta
merupakan siklus lima tahunan, Memang
pada tahun 2002 banjir juga melanda ibu kota, walau tidak sedahsyat bencana
banjir yang terjadi pada tahun ini.
Disamping faktor
besarnya curah hujan ada empat factor
yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.
Faktor-faktor itu ialah : Pertama,
pengurukan rawa. Kedua, perubahan
tata guna lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Ketiga,
mendangkal dan semakin mengecilnya sungai-sungai. Keempat,
terjadinya penurunan permukaan tanah Jakarta. Keempat
faktor tersebut saling memperkuat satu sama lain sehingga besarnya dampak yang
dapat ditimbulkan oleh banjir semakin mencekam dan mengancam Jakarta.
Pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap terjadinya banjir sangat
besar. Apalagi posisi daerah yang
ditimpa banjir pada umumnya terletak pada dataran rendah yang daerah aliran
sungainya membentang kea rah bukit yang memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Kondisi ini seharusnya sangat menguntungkan
karena persediaan air yang ada lebih dari cukup. Namun,. Bila daerah-daerah aliran sungai
tersebut mangalami perubahan tata guna lahan maka yang muncul ialah bencana.
Sebagai gambaran, DAS yang masih alamiah meiliki angka pengaliran
curah hujan berkisar 0,1. Artinya bila
ada hujan turun hanya 10 persen yang langsung dialirkan ke sungai dan sisanya
90 persen ditampung pada akar pohon dan semak belukar serta sebagian menguap ke
udara.
Pada kondisi yang demikian, pada musim kemarau tersedia cukup air,
karena DAS-nya mengucurkan air sedikit demi sedikit melalui rembesan air yang
tertahan, sebaliknya pada musim hujan kemungkinan banjir bias diperkecil karena
sebagian besar curah hujan yang turun tertahan oleh pohon dan semak belukar.
Sebaliknya, bila suatu DAS mengalami perubahan tata guna lahan dari
lingkungan alamiah menjadi pemukiman maka angka pengaliran bias berubah dari
0,1 menjadi 0,9. Bila suatu DAS memiliki
angka pengaliran 0,9 berarti dari curah hujan yang turun pada saat itu juga 90
persen langsung dialirkan ke sungai.
Bila kondisi ini terjadi maka datanglah banjir banding yang tidak bias
dihindari.
Bencana banjir di Indonesia
sebenarnya bukan masalah yang baru karena hampir setiap tahun ter jadi. Masalah banjir telah ada sejak manusia bermukim
dan melakukan aktivitas di dataran banjir suatu sungai. Banjir yang terjadi bukanlah merupakan
persoalan selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan
manusia. Namun sejak manusia mulai
bermukim dan melakukan berbagai aktivitas pada daerah aliran sungai (DAS),
persoalan tersebut telah ada dan sejak itu pula sebenarnya manusia telah
berupaya untuk mengatasinya.
Upaya mengatasi banjir sampai saat ini masih mengandalkan penanganan
secar fisik pada sungai, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan
terhadap sungai serta bpembuatan bangunan-bangunan pengendali. Upaya ini bertujuan mengendalikan banjir sampai pada besaran tertentu dan
tidak untuk mengendalikan banjir yang besar. Menyadari keterbatasan tersebut, maka konsep
penanganan masalah banjir yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah penanganan
yang komprehensif, yaitu kombinasi antara upaya struktur dan non struktur. Namun kelihatannya upaya ini tidak dilakukan
secara sistematis dan terencana. Begitu
suatu wilayah mengalami banjir, disitu pula perencanaan baru dipikirkan.
II.
BANJIR, RESPON DARI PENGELOLAAN DAS YANG BURUK
Bencana banjir yang terjadi akhir-akhir ini
merupakan respond an umpan balik dari buruknya perencanaan pengelolaan DAS. Sampai saat ini, sulit ditemukan suatu DAS besar
yang betul-betul terkelola dengan baik.
Sudah banyak kajian, proyek-proyek pengendalian banjir, seminar,
lokakarya, simposium dan kebijaksanaan pemerintah yang disusun untuk mangetaur
DAS, namun mengapa hasilnya belum efektif?, Mengapa kerusakan DAS semakin
meningkat sehingga setiap tahun terjadi banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi,
penurunan kualitas air dan masalah lingkungan lainnya?.
Kerusakan DAS timbul
sebagai konsekwensi dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam di dalam DAS yang
melebihi daya dukung lingkungannya. Daya
dukung lingkungan adalah jumlah populasi penduduk yang optimal yang dalam
jangka panjang dapat dipenuhi kebutuhan oleh suatu satuan lingkungan atau
sumberdaya alam. Adanya perubahan
seperti perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian,
berkurangnya areal hutan dan kawasan resapan air, semakin intensifnya
pemanfaatan lahan dan meningkatnya luas lahan kritis serta kurangya usaha
konservasi tanah dan air telah membawa dampak pada meningkatnya aliran
permukaan dan erosi. Akibatnya pada
musim kemarau terjadi kekeringan dimana air sungai menyusut drastis dan
cadangan air berkurang, sedangkan pada musim penghujan terjadi banjir.
Meningkatnya tekanan
penduduk terhadap lahan telah menyebabkan telah berkurangnya lahan pertanian
kelas satu, terutama persawahan teknis karena dikonversikan menjadi lahan
industri atau pemukiman.
Selain
permasalahan fisik dan sosial ekonomi masyarakat yang berada di dalam DAS,
kerusakan DAS juga disebabkan oleh masalah hukum dan kelembagaan. Sangat sulit memadukan seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan DAS, baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh
masyarakat sehingga tujuan pengelolaan DAS tidak tercapai. Tidak adanya kordinasi dan keterpaduan antar
sektor telah menyebabkan adanya tumpang tindih dan konflik kepentingan dalam
pengelolaannya. Walaupun banyak di
Indonesia instansi atau lembaga yang terlibat dalam urusan tanah dan penggunaan
tanah dalam suatu DAS, namun dalam melaksanakan tugasnya masing-masing lembaga
menggunakan pendekatan dan metode sendiri-sendiri tergantung pada kepentingan
sektoralnya. Akibatnya sering terjadi
duplikasi kegiatan, juga informasi yangn yang
sulit untuk dimengerti dan terlihat sangat sektoral.
III. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB BANJIR
Di awal tulisan ini telah disebutkan bahwa ada
empat faktor yang menyebabkan terjadinya banjir, yaitu : Pertama, pengurukan rawa. Kedua, perubahan tata guna lahan pada
Daerah Aliran Sungai (DAS). Ketiga, mendangkal dan semakin mengecilnya
sungai-sungai. Keempat, terjadinya penurunan permukaan tanah.
- Pendangkalan Sungai
Masyarakat kita dan juga pemerintah daerah tidak memiliki budaya
menghormati sungai. Dengan perasaan
tenang orang bisa membuang sampah ke sungai,
industri secara sembunyi-sembunyi membuang limbah ke sungai, penduduk
karena rendahnya pendapatan dan tiadanya pilihan maka merekapun membangun
rumah-rumah di pinggir sungai.
Dalam urusan sungai, orang kaya dan miskin sangat kompak, keduanya
sama-sama menimbulkan kerusakan di sungai, yang kaya meracuni dengan membuang air
limbah industri ke sungai dan yang miskin menimbuni dengan sampah. Sepertinya kita merenung betapa aliran air
sungai dikiaskan di dalam berbagai kitab suci dalam bahasa yang begitu indah.
Secara alamiah sungai memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya
sendiri (Self-purification) karena di
sungai tersedia bakteri pengurai, namun karena banyak limbah yang tidak terurai
dan adanya zat-zat beracun yang membunuh bakteri pengurai sehingga sungai-sungai
mengalami pendangkalan karena proses penguraian tidak berjalan dengan
wajar, dari tahun-tahun seperti kita
lihat di kota Jakarta proses
pendangkalan sungai semakin parah.
Di satu sisi sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan tapi di
sisi lain air yang harus dialirkan semakin
bertambah akibatnya terjadi perubahan tata guna lahan pada DAS, maka
banjir bandang pun sulit dihindari.
Kalau kita lihat penyebab banjir di
Jakarta, pegunungan yang membentang di kawasan Bogor Puncak secara
alamiah berfungsi sebagai pengembun awan yang bergerak dari laut Jawa sehingga
curah hujan di kawasan ini menjadi relatif lebih tinggi. Karena lahan di kawasan ini sudah rusak maka
daya tampung terhadap curah hujan yang tinggi tersebut menurun dan bila pada
waktu yang bersamaan di Jakarta
terjadi hujan besar yang merata maka banjir besar pun tidak bisa dihindari.
- Penimbunan Rawa dan Penurunan Permukaan Tanah
Adanya rawa dan situ-situ (danau kecil, alami
ataupun buatan), pada suatu wilayah
memiliki peranan penting untuk menahan banjir.
Rawa memiliki daya tampung air yang cukup besar, baik terhadap air laut
pasang maupun terhadapair hujan. Bila
telah banyak rawa yang telah diuruk untuk kepentingan pemukiman maka tidak ada
lagi lokasi bagi air sungai untuk meluber
secara alamiah sehingga terjadinlah banjir. Ditutupnya rawa bisa menimbulkan arus balik
karena tidak adanya tempat untuk menampung air pasang sehingga aliran air
menjadi tidak lancar yang berarti pula akan menimbulkan banjir.
Penurunan permukaan tanah juga akan menimbulkan
bencana banjir. Meskipun penyebab
terjadinya penurunan permukaan tanah masih diperdebatkan , tetapi semua pihak
sudah sepakat bahwa di Jakarta Utara telah terjadi penurunan permukaan tanah (land subsidence). Di beberapa tempat penurunan tersebut
mendekati satu meter. Akibat dari
penurunan permukaan tanah ini sangat parah, hanya disebabkan air laut pasang
saja sudah timbul banjir apalagi kalau turun hujan besar, maka bila hujan besar
terjadi pada saat air laut pasang maka banjir besar pun tidak mungkin
dihindari.
IV.
PARADIGMA BARU PENGELOLAAN DAS
Tidak isa lain, saatnya pengelolaan DAS dengan
paradigma baru. Tidak bermaksud latah, tapi sejatinya dinilai pengelolaan DAS
itu memang sudah mendesak dengan menggunakan paradikma baru tersebut. Dalam paradigma baru ini ada beberapa sudut
pandang yang perlu diperhatikan. Diantaranya,
melihat kerusakan DAS dari apa yang terjadi, menjadi mengapa hal itu bisa terjadi; dari pengelolaan DAS dari satu tujuan untuk
beberapa tujuan dan dari penanganan lahan kritis yang tidak bersifat ekonomis
menjadi bentuk pengelolaan yang ekonomis.
Sudut pandang lainnya, dari prioritas penanganan
untung rugi di daerah hilir menjadi prioritas penanganan yang sama di bagian
hulu; perencanaan dari top
down menjadi bottom up atau community
based manegment alias manajemen yang
berdasarkan keinginan masyarakat dan sistim informasi dari tersebar di berbagai
departemen menjadi sistim informasi DAS nasional.
Penerapan pengelolaan DAS dengan paradigma baru,
mesti menggunakan azas keterpaduan.
Dengan kata lain, pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan
ekosistim, yang mengharuskan digunakannya DAS sebagai satuan pengelolaan. Ada beberapa alasan mengapa pengelolaan DAS secara terpadu perlu
dilakukan. Diantaranya, terdapat keterkaitan
antara berbagai kegiatan di dalam pengelolaan SDA dan pembinaan aktivitas
manusia, melibatkan berbagai disiplin ilmu (multi
aspect) , dan melibatkan berbagai sektor (lintas sektoral) dan saling
ketergantungan.
Mengingat DAS dikelola oleh banyak
instansi, maka tidak dimungkinkan digunakan sistim pengelolaan tunggal dalam mengelola DAS terpadu ini. Untuk itu disarankan menggunakan sistim
pengelolaan majemuk, sedangkan wewenang dan tanggung jawab sektoral tetap
dipertahankan dengan fungsi masing-masing.
Dengan memperhatikan beberapa aspek
dalam pengeloaan DAS seperti biofisik/teknis (tanah, iklim, vegetasi,
hidrologi, dll), sosial (perilaku masyarakat dan budaya), ekonomi (produksi,
penadapatan, kesejahteraan, biaya dan keuntungan sosial), serta politik yang
meliputi DAS yang menyangkut antar wilayah.
Dalam konteks otonomi daerah, sesuai
UU No 22 tahun 1999, pengelolaan DAS (penataan ruang wilayah dan penataan tata
guna tanah) harus tetap mengacu kepada UU tersebut. DAS tidak mempunyai batas yang bertepatan (ci-insized) dengan batas-batas wilayah
administratif. Yang menjadi kelemahan
selama ini adalah dalam pengelolaan DAS belum adanya sinkronisasi antara
pembangunan di daerah hulu dan di daerah hilir. Apalagi jika dua bagian DAS tersebut juga
berada dalam wilayah administrasi yang berbeda, sepetii misalnya DAS Ciliwung
yang terdapat di DKI Jakarta dan Jawa Barat, maka dapat dipastikan tidak adanya
perencanaan yang saling berkaiatan. Padahal didalam DAS tidak mengenal batas
politis yang demikian. Dalam istilah
ekonomi, fenomena ini dikenal dengan eksternalitas karena apa yang terjadi di
daerah hilir adalah hasil keputusan penduduk di daerah hulu. Hal inilah
yang sering menyebabkan penduduk di hulu selalu dituduh sebagai penyebab
terjadinya banjir dan kekeringan di hilir,
Dalam hal banjir Jakarta, selalu dikatakan merupakan kiriman banjir
daerah puncak Jawa Barat.
Demikian pula dalam proses
pembangunan, daerah hulu selalu dibatasi perkembangannya agar tidak mengganggu
daerah hilir. Daerah hulu diusahan untuk
terus sebagai daerah penyangga sehingga kegiatan konservasi tanah dan air terus
digalakkan. Namun ironisnya, hasilnya
justru lebih dinikmati oleh penduduk hilir.
Untuk itulah perlunya suatu
insetif bagi penduduk hulu dengan menentukan pajak pada penduduk di
hilir sehingga terdapat suatu hubungan yang saling menguntungkan.
DAS perlu diklasifikasi menurut
hamparan wilayahnya dan fungsi
strategisnya yaitu masing-masing DAS
lokal, DAS regional dan DAS
nasional. Dikaitkan dengan pembangunan
wilayah (regional development) ,
pengelolaan DAS dengan sasaran wilayah sungai, sangat berkaitan dengan penataan
ruang dan penatagunaan tanah. Tata ruang
wilayah pada prinsipnya berupa zonasi wilayah yang berkesuaian dengan kawasan
hutan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu.
Apabila RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) merupakan
konsep kondisi ideal dari tatanan ruang yang ingin dicapai, maka rencana
pengelolaan DAS, baik pola RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah)
maupun pola RTL-RLKT - penilaian kemampuan dan kesuaian lahan - harus
diintegrasikan ke dalam RUTRD.
Perlu juga diperhatikan, batas ekosistem DAS todak
berhimpit dengan batas administrasi dan pemerintahan. Dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik. Perlu
identifikasi dampak dan lokasi, ketegori dan bentuk aktivitas stake holders di bagian hulu, tengah dan hilir.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya stake holders – dalam hal ini pelaku
yang ada kaitannya dengan pengelolaan DAS -
termasuk mereka yang memperoleh manfaay dari aktivitas pengelolaan DAS
tersebut. Instrumen kebijakan
pengelolaan DAS yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif-disinsentif
terhadap stake holders sesuai
dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif cost sharing principles perlu dirumuskan.
Perumusan dan implementasi kebijakan harus
diupayakan dalam konteks pemerataan biaya yang harus ditanggung oleh
masing-masing stake holders yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan
DAS sehingga diharapkan tidak sampai menimbulkan masalah pada eksternalnya.
Selain itu, sistem pengelolaan DAS harus
menginternalisasikan dan membagi biaya pengelolaan diantara semua stake holders secara adil sesuai dengan
bentuk aktivitas dan lokasinya.
Perlu juga diperhatikan, pelaksanaan kegiatan
konservasi tanah dan air (sebagai bagian dari program pengelolaan DAS) di
daerah hulu DAS diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan
adanya dukungan finansial dari stake
holders yang memperoleh manfaat.
Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan mekanisme
pengaturan dan penyelsaian masalah akibat conflict
of interest di antara stake holders, maka
pengelolaan suatu ekosistem DAS sebaiknya berada di bawah suatu kewenangan
otoritas lembaga yang disepakati dan memiliki lingkup kerja sesuai dengan
keterkaiatn biofisik DAS.
V.
PENUTUP
Bencana banjir di Indonesia sebenarnya bukan
masalah yang baru karena hampir setiap tahun ter jadi. Masalah banjir telah ada sejak manusia
bermukim dan melakukan aktivitas di dataran banjir suatu sungai. Banjir yang terjadi bukanlah merupakan
persoalan selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan
manusia. Namun sejak manusia mulai
bermukim dan melakukan berbagai aktivitas pada daerah aliran sungai (DAS),
persoalan tersebut telah ada dan sejak itu pula sebenarnya manusia telah
berupaya untuk mengatasinya.
Tidak adanya perencanaan pengelolaan DAS dan tata
ruang yang baik telah terjadinya ketidak seimbangan lingkungan sehingga watak
banjir berubah. Banjir telah merepotkan
semua pihak. Banyak kerugian yang
dialami.
Untuk mengatasi banjir yang disebabkan oleh
buruknya pengelolaan DAS, mau tidak mau secara terintegrasi semua yang terlibat
dalam pengelolaan DAS harus bekerja secara terpadu, menggunakan sistem
pengelolaan majemuk, tidak mungkin dilaksanakan sistem pengelolaan tunggal
dalam pengelolaan DAS.
Untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan DAS,
ada bebera strategi yang bisa dilaksanakan.
Diantaranya, pengelolaan DAS harus berdasar pada azas kelestarian dan
pemanfaatan yang beragam, integrasikan konsep-konsep pengelolaan DAS ke dalam
RUTRD, dan gunakan DAS sebagai unit manajemen SDA secara konsisten sejak
perencanaan, implementasi sampai monotoring dan evaluasi (monev).
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Gajah Mada Univesity Press. Jogyakarta.
Edwar, DF. _______.
Saatnya Pengelolaan DAS dengan Paradigma Baru, Jika Air Danau Maninjau
Kering. Artikel Padeks. Padang.
Harmailis. 2001.
Perubahan Tata Guna Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit Aliran
Sungai. Tesis. Pascasarjana IPB Bogor.
Purwo, Nugroho. 2000.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Bencana Banjir. BPP Teknologi. Jakarta.
Wayne, C. Huber and Bedient, B Philip. 1992. Hydrology and Floodplain Analysis. Addison Wesley Publishing Company. Unite State America.