Rabu, 04 November 2015

Bencana Banjir, Respon Buruknya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)



Oleh  :
Ir.  Harmailis, M.Si
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pertanian
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Email  : harmailis_chaniago@yahoo.com
I.                PENDAHULUAN

Bancana banjir yang telah terjadi di Jakarta beberapa bulan yang lalu telah merepotkan semua pihak.   Rakyat jelata, praktisi, artis, pimpinan parpol,  pejabat tinggi bahkan sampai Presiden telah dibuat repot dengan kejadian banjir di Jakarta tersebut.  Menurut Yos Sutioso, ‘orang nomor satu  di DKI’ menyebutkan peristiwa banjir Jakarta merupakan siklus lima tahunan,  Memang pada tahun 2002 banjir juga melanda ibu kota, walau tidak sedahsyat bencana banjir yang terjadi pada tahun ini.
  Disamping faktor besarnya  curah hujan ada empat factor yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.  Faktor-faktor itu ialah : Pertama, pengurukan rawa. Kedua, perubahan tata guna lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS).  Ketiga, mendangkal dan semakin mengecilnya sungai-sungai.  Keempat, terjadinya penurunan permukaan tanah Jakarta.  Keempat faktor tersebut saling memperkuat satu sama lain sehingga besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh banjir semakin mencekam dan mengancam Jakarta. 
Pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap terjadinya banjir sangat besar.  Apalagi posisi daerah yang ditimpa banjir pada umumnya terletak pada dataran rendah yang daerah aliran sungainya membentang kea rah bukit yang memiliki curah hujan yang sangat tinggi.  Kondisi ini seharusnya sangat menguntungkan karena persediaan air yang ada lebih dari cukup.  Namun,. Bila daerah-daerah aliran sungai tersebut mangalami perubahan tata guna lahan maka yang muncul ialah bencana.
Sebagai gambaran, DAS yang masih alamiah meiliki angka pengaliran curah hujan berkisar 0,1.  Artinya bila ada hujan turun hanya 10 persen yang langsung dialirkan ke sungai dan sisanya 90 persen ditampung pada akar pohon dan semak belukar serta sebagian menguap ke udara.  
Pada kondisi yang demikian, pada musim kemarau tersedia cukup air, karena DAS-nya mengucurkan air sedikit demi sedikit melalui rembesan air yang tertahan, sebaliknya pada musim hujan kemungkinan banjir bias diperkecil karena sebagian besar curah hujan yang turun tertahan oleh pohon dan semak belukar.
Sebaliknya, bila suatu DAS mengalami perubahan tata guna lahan dari lingkungan alamiah menjadi pemukiman maka angka pengaliran bias berubah dari 0,1 menjadi 0,9.  Bila suatu DAS memiliki angka pengaliran 0,9 berarti dari curah hujan yang turun pada saat itu juga 90 persen langsung dialirkan ke sungai.  Bila kondisi ini terjadi maka datanglah banjir banding yang tidak bias dihindari.
Bencana banjir di Indonesia sebenarnya bukan masalah yang baru karena hampir setiap tahun ter jadi.  Masalah banjir telah ada sejak manusia bermukim dan melakukan aktivitas di dataran banjir suatu sungai.  Banjir yang terjadi bukanlah merupakan persoalan selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia.  Namun sejak manusia mulai bermukim dan melakukan berbagai aktivitas pada daerah aliran sungai (DAS), persoalan tersebut telah ada dan sejak itu pula sebenarnya manusia telah berupaya untuk mengatasinya. 
Upaya mengatasi banjir sampai saat ini masih mengandalkan penanganan secar fisik pada sungai, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan terhadap sungai serta bpembuatan bangunan-bangunan pengendali.  Upaya ini bertujuan mengendalikan banjir sampai pada besaran tertentu dan tidak untuk mengendalikan banjir yang besar.  Menyadari keterbatasan tersebut, maka konsep penanganan masalah banjir yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah penanganan yang komprehensif, yaitu kombinasi antara upaya struktur dan non struktur.  Namun kelihatannya upaya ini tidak dilakukan secara sistematis dan terencana.  Begitu suatu wilayah mengalami banjir, disitu pula perencanaan baru dipikirkan. 

II.             BANJIR, RESPON DARI PENGELOLAAN DAS YANG BURUK

Bencana banjir yang terjadi akhir-akhir ini merupakan respond an umpan balik dari buruknya perencanaan pengelolaan DAS.  Sampai saat ini, sulit ditemukan suatu DAS besar yang betul-betul terkelola dengan baik.  Sudah banyak kajian, proyek-proyek pengendalian banjir, seminar, lokakarya, simposium dan kebijaksanaan pemerintah yang disusun untuk mangetaur DAS, namun mengapa hasilnya belum efektif?, Mengapa kerusakan DAS semakin meningkat sehingga setiap tahun terjadi banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, penurunan kualitas air dan masalah lingkungan lainnya?.
            Kerusakan DAS timbul sebagai konsekwensi dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam di dalam DAS yang melebihi daya dukung lingkungannya.  Daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi penduduk yang optimal yang dalam jangka panjang dapat dipenuhi kebutuhan oleh suatu satuan lingkungan atau sumberdaya alam.  Adanya perubahan seperti perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan dan kawasan resapan air, semakin intensifnya pemanfaatan lahan dan meningkatnya luas lahan kritis serta kurangya usaha konservasi tanah dan air telah membawa dampak pada meningkatnya aliran permukaan dan erosi.  Akibatnya pada musim kemarau terjadi kekeringan dimana air sungai menyusut drastis dan cadangan air berkurang, sedangkan pada musim penghujan terjadi banjir.
            Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan telah menyebabkan telah berkurangnya lahan pertanian kelas satu, terutama persawahan teknis karena dikonversikan menjadi lahan industri atau pemukiman.
            Selain permasalahan fisik dan sosial ekonomi masyarakat yang berada di dalam DAS, kerusakan DAS juga disebabkan oleh masalah hukum dan kelembagaan.  Sangat sulit memadukan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS, baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh masyarakat sehingga tujuan pengelolaan DAS tidak tercapai.  Tidak adanya kordinasi dan keterpaduan antar sektor telah menyebabkan adanya tumpang tindih dan konflik kepentingan dalam pengelolaannya.   Walaupun banyak di Indonesia instansi atau lembaga yang terlibat dalam urusan tanah dan penggunaan tanah dalam suatu DAS, namun dalam melaksanakan tugasnya masing-masing lembaga menggunakan pendekatan dan metode sendiri-sendiri tergantung pada kepentingan sektoralnya.  Akibatnya sering terjadi duplikasi kegiatan, juga informasi yangn yang  sulit untuk dimengerti dan terlihat sangat sektoral.


III.   FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANJIR

Di awal tulisan ini telah disebutkan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya banjir, yaitu  :  Pertama, pengurukan rawa. Kedua, perubahan tata guna lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS).  Ketiga, mendangkal dan semakin mengecilnya sungai-sungai.  Keempat, terjadinya penurunan permukaan tanah.

  1. Pendangkalan Sungai
Masyarakat kita dan juga pemerintah daerah tidak memiliki budaya menghormati sungai.   Dengan perasaan tenang orang bisa membuang sampah ke sungai,  industri secara sembunyi-sembunyi membuang limbah ke sungai, penduduk karena rendahnya pendapatan dan tiadanya pilihan maka merekapun membangun rumah-rumah di pinggir sungai.
Dalam urusan sungai, orang kaya dan miskin sangat kompak, keduanya sama-sama menimbulkan kerusakan di sungai, yang kaya meracuni dengan membuang air limbah industri ke sungai dan yang miskin menimbuni dengan sampah.  Sepertinya kita merenung betapa aliran air sungai dikiaskan di dalam berbagai kitab suci dalam bahasa yang begitu indah.
Secara alamiah sungai memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Self-purification) karena di sungai tersedia bakteri pengurai, namun karena banyak limbah yang tidak terurai dan adanya zat-zat beracun yang membunuh bakteri pengurai sehingga sungai-sungai mengalami pendangkalan karena proses penguraian tidak berjalan dengan wajar,  dari tahun-tahun seperti kita lihat di kota Jakarta proses pendangkalan sungai semakin parah.
Di satu sisi sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan tapi di sisi lain air yang harus dialirkan semakin  bertambah akibatnya terjadi perubahan tata guna lahan pada DAS, maka banjir bandang pun sulit dihindari. 
Kalau kita lihat penyebab banjir di  Jakarta, pegunungan yang membentang di kawasan Bogor Puncak secara alamiah berfungsi sebagai pengembun awan yang bergerak dari laut Jawa sehingga curah hujan di kawasan ini menjadi relatif lebih tinggi.  Karena lahan di kawasan ini sudah rusak maka daya tampung terhadap curah hujan yang tinggi tersebut menurun dan bila pada waktu yang bersamaan di Jakarta terjadi hujan besar yang merata maka banjir besar pun tidak bisa dihindari.

  1. Penimbunan Rawa dan Penurunan Permukaan Tanah
Adanya rawa dan situ-situ (danau kecil, alami ataupun buatan),  pada suatu wilayah memiliki peranan penting untuk menahan banjir.  Rawa memiliki daya tampung air yang cukup besar, baik terhadap air laut pasang maupun terhadapair hujan.  Bila telah banyak rawa yang telah diuruk untuk kepentingan pemukiman maka tidak ada lagi lokasi bagi air sungai untuk meluber   secara alamiah sehingga terjadinlah banjir.  Ditutupnya rawa bisa menimbulkan arus balik karena tidak adanya tempat untuk menampung air pasang sehingga aliran air menjadi tidak lancar yang berarti pula akan menimbulkan banjir.
Penurunan permukaan tanah juga akan menimbulkan bencana banjir.  Meskipun penyebab terjadinya penurunan permukaan tanah masih diperdebatkan , tetapi semua pihak sudah sepakat bahwa di Jakarta Utara telah terjadi penurunan permukaan tanah (land subsidence).  Di beberapa tempat penurunan tersebut mendekati satu meter.  Akibat dari penurunan permukaan tanah ini sangat parah, hanya disebabkan air laut pasang saja sudah timbul banjir apalagi kalau turun hujan besar, maka bila hujan besar terjadi pada saat air laut pasang maka banjir besar pun tidak mungkin dihindari.

IV.            PARADIGMA BARU PENGELOLAAN DAS

Tidak isa lain, saatnya pengelolaan DAS dengan paradigma baru. Tidak bermaksud latah, tapi sejatinya dinilai pengelolaan DAS itu memang sudah mendesak dengan menggunakan paradikma baru tersebut.  Dalam paradigma baru ini ada beberapa sudut pandang yang  perlu diperhatikan.   Diantaranya,  melihat kerusakan  DAS dari apa yang terjadi, menjadi mengapa hal itu bisa terjadi;  dari pengelolaan DAS dari satu tujuan untuk beberapa tujuan dan dari penanganan lahan kritis yang tidak bersifat ekonomis menjadi bentuk pengelolaan yang ekonomis.
Sudut pandang lainnya, dari prioritas penanganan untung rugi di daerah hilir menjadi prioritas penanganan yang sama di bagian hulu;  perencanaan dari top down menjadi bottom up  atau community based manegment  alias manajemen yang berdasarkan keinginan masyarakat dan sistim informasi dari tersebar di berbagai departemen menjadi sistim informasi DAS nasional.
Penerapan pengelolaan DAS dengan paradigma baru, mesti menggunakan azas keterpaduan.  Dengan kata lain, pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistim, yang mengharuskan digunakannya DAS sebagai satuan pengelolaan.  Ada beberapa alasan mengapa pengelolaan DAS secara terpadu perlu dilakukan.  Diantaranya, terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan di dalam pengelolaan SDA dan pembinaan aktivitas manusia, melibatkan berbagai disiplin ilmu (multi aspect) , dan melibatkan berbagai sektor (lintas sektoral) dan saling ketergantungan. 
Mengingat DAS dikelola oleh banyak instansi, maka tidak dimungkinkan digunakan sistim pengelolaan tunggal  dalam mengelola  DAS terpadu ini.  Untuk itu disarankan menggunakan sistim pengelolaan majemuk, sedangkan wewenang dan tanggung jawab sektoral tetap dipertahankan dengan fungsi masing-masing.
Dengan memperhatikan beberapa aspek dalam pengeloaan DAS seperti biofisik/teknis (tanah, iklim, vegetasi, hidrologi, dll), sosial (perilaku masyarakat dan budaya), ekonomi (produksi, penadapatan, kesejahteraan, biaya dan keuntungan sosial), serta politik yang meliputi DAS yang menyangkut antar wilayah.
Dalam konteks otonomi daerah, sesuai UU No 22 tahun 1999, pengelolaan DAS (penataan ruang wilayah dan penataan tata guna tanah) harus tetap mengacu kepada UU tersebut.  DAS tidak mempunyai batas yang bertepatan (ci-insized) dengan batas-batas wilayah administratif.   Yang menjadi kelemahan selama ini adalah dalam pengelolaan DAS belum adanya sinkronisasi antara pembangunan di daerah hulu dan di daerah hilir.  Apalagi jika dua bagian DAS tersebut juga berada dalam wilayah administrasi yang berbeda, sepetii misalnya DAS Ciliwung yang terdapat di DKI Jakarta dan Jawa Barat, maka dapat dipastikan tidak adanya perencanaan yang saling berkaiatan.  Padahal didalam DAS tidak mengenal batas politis yang demikian.  Dalam istilah ekonomi, fenomena ini dikenal dengan eksternalitas karena apa yang terjadi di daerah hilir adalah hasil keputusan penduduk di daerah hulu.  Hal inilah  yang sering menyebabkan penduduk di hulu selalu dituduh sebagai penyebab terjadinya banjir dan kekeringan di hilir,  Dalam hal banjir Jakarta, selalu dikatakan merupakan kiriman banjir daerah puncak Jawa Barat.
Demikian pula dalam proses pembangunan, daerah hulu selalu dibatasi perkembangannya agar tidak mengganggu daerah hilir.  Daerah hulu diusahan untuk terus sebagai daerah penyangga sehingga kegiatan konservasi tanah dan air terus digalakkan.  Namun ironisnya, hasilnya justru lebih dinikmati oleh penduduk hilir.  Untuk itulah perlunya suatu  insetif bagi penduduk hulu dengan menentukan pajak pada penduduk di hilir sehingga terdapat suatu hubungan yang saling menguntungkan.    
DAS perlu diklasifikasi menurut hamparan wilayahnya  dan fungsi strategisnya  yaitu masing-masing DAS lokal, DAS regional dan DAS nasional.  Dikaitkan dengan pembangunan wilayah (regional development) , pengelolaan DAS dengan sasaran wilayah sungai, sangat berkaitan dengan penataan ruang dan penatagunaan tanah.  Tata ruang wilayah pada prinsipnya berupa zonasi wilayah yang berkesuaian dengan kawasan hutan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu.
Apabila RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) merupakan konsep kondisi ideal dari tatanan ruang yang ingin dicapai, maka rencana pengelolaan DAS, baik pola RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) maupun pola RTL-RLKT - penilaian kemampuan dan kesuaian lahan - harus diintegrasikan ke dalam RUTRD.
Perlu juga diperhatikan, batas ekosistem DAS todak berhimpit dengan batas administrasi dan pemerintahan.  Dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik.  Perlu identifikasi dampak dan lokasi, ketegori dan bentuk aktivitas stake holders  di bagian hulu, tengah dan hilir. 
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya stake holders – dalam hal ini pelaku yang ada kaitannya dengan pengelolaan DAS -  termasuk mereka yang memperoleh manfaay dari aktivitas pengelolaan DAS tersebut.  Instrumen kebijakan pengelolaan DAS yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif-disinsentif  terhadap stake holders sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif cost sharing principles  perlu dirumuskan. 
Perumusan dan implementasi kebijakan harus diupayakan dalam konteks pemerataan biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing stake holders  yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan DAS sehingga diharapkan tidak sampai menimbulkan masalah pada eksternalnya.
Selain itu, sistem pengelolaan DAS harus menginternalisasikan dan membagi biaya pengelolaan diantara semua stake holders secara adil sesuai dengan bentuk aktivitas dan lokasinya. 
Perlu juga diperhatikan, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air (sebagai bagian dari program pengelolaan DAS) di daerah hulu DAS diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya dukungan finansial dari stake holders yang memperoleh manfaat.
Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan mekanisme pengaturan dan penyelsaian masalah akibat conflict of interest di antara stake holders, maka pengelolaan suatu ekosistem DAS sebaiknya berada di bawah suatu kewenangan otoritas lembaga yang disepakati dan memiliki lingkup kerja sesuai dengan keterkaiatn biofisik  DAS.


V.              PENUTUP

Bencana banjir di Indonesia sebenarnya bukan masalah yang baru karena hampir setiap tahun ter jadi.  Masalah banjir telah ada sejak manusia bermukim dan melakukan aktivitas di dataran banjir suatu sungai.  Banjir yang terjadi bukanlah merupakan persoalan selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia.  Namun sejak manusia mulai bermukim dan melakukan berbagai aktivitas pada daerah aliran sungai (DAS), persoalan tersebut telah ada dan sejak itu pula sebenarnya manusia telah berupaya untuk mengatasinya. 
Tidak adanya perencanaan pengelolaan DAS dan tata ruang yang baik telah terjadinya ketidak seimbangan lingkungan sehingga watak banjir berubah.  Banjir telah merepotkan semua pihak.  Banyak kerugian yang dialami. 
Untuk mengatasi banjir yang disebabkan oleh buruknya pengelolaan DAS, mau tidak mau secara terintegrasi semua yang terlibat dalam pengelolaan DAS harus bekerja secara terpadu, menggunakan sistem pengelolaan majemuk, tidak mungkin dilaksanakan sistem pengelolaan tunggal dalam pengelolaan DAS.
Untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan DAS, ada bebera strategi yang bisa dilaksanakan.  Diantaranya, pengelolaan DAS harus berdasar pada azas kelestarian dan pemanfaatan yang beragam, integrasikan konsep-konsep pengelolaan DAS ke dalam RUTRD, dan gunakan DAS sebagai unit manajemen SDA secara konsisten sejak perencanaan, implementasi sampai monotoring dan evaluasi (monev).   




DAFTAR PUSTAKA

Asdak, Chay.  1995.  Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.  Gajah Mada Univesity Press.  Jogyakarta.

Edwar, DF.  _______.  Saatnya Pengelolaan DAS dengan Paradigma Baru, Jika Air Danau Maninjau Kering.  Artikel Padeks.  Padang.

Harmailis.  2001.  Perubahan Tata Guna Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit Aliran Sungai.  Tesis.  Pascasarjana IPB Bogor. 

Purwo, Nugroho.  2000.  Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Bencana Banjir.   BPP Teknologi.  Jakarta.

Wayne, C. Huber and Bedient, B Philip. 1992.  Hydrology and Floodplain Analysis.  Addison Wesley Publishing Company.  Unite State America.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda